Sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat) merupakan prinsip
dien/agama/ajaran, bahkan semua ajaran sebenarnya punya prinsip seperti itu
juga, dengan istilah yang berbeda, sebab kalau tidak dengan sami’na wa atho’na,
maka ajaran tersebut dengan sendirinya lama kelamaan akan mati.
Ini merupakan prinsip yang sangat rasional dan disetujui oleh semua konsep
hidup semua manusia di dunia ini. Kalau kita membicarakan sami’na wa atho’na
yang berhubungan dengan ajaran Islam, hal ini sangat berbeda, mengapa? karena
kewajiban-kewajiban dalam Islam bukan hanya yang tertulis saja (Qur’an dan
Sunnah). Kadang-kadang hasil musyawarah bersama perlu konsekwensi peserta
musyawarah sehingga harus konsisten dengan keputusannya yang membutuhkan
sami’na wa atho’na, jadi kita harus sami’na wa atho’na terhadap keputusan
musyawah itu sendiri. Maka semua yg menyangkup sami’na wa atho’na, apabila
tidak laksanakan, maka itu termasuk penyelewengan iman.
Sami’na wa atho’na bisa mendatangkan rahmat dan bisa juga mendatangkan
murka llah SWT. Sami’na yang mendatangkan rahmat adalah sami’na yang
berdasarkan ketaatan dan kerakinan, sedangkan sami’na yang bisa mendatangkan
murka Allah adalah sani’na wa ashoyna (kami dengar dan kami biarkan saja).
Sami’na wa ashoyna telah banyak dicontohkan oleh Bani Israil (mereka kaum yang
sering ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya) sebagaimana banyak diceritakan dalam
Al-Qur’an.
Dahulu pada
masa awal dakwah Rasulullah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu
direspon umat di masa itu dengan menggunakan instrumen keimanan. Tidak peduli
apakah ia, menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit, dalam keadaan
senang maupun susah dan dalam keadaan lapang maupun sempit. Semangat keimanan
melahirkan ruh-ruh keta’atan.
Sami’na wa
atho’na (Kami dengar dan kami taati) merupakan kalimat ketaatan yang selalu
diambil oleh para sahabat generasi terbaik umat islm. Termasuk di dalamnya
ketika muncul kasus pengharaman babi secara kontekstual dalam Al-Qur’an. Para
sahabat tidak lantas sibuk menanyakan dan bertanya-tanya. Kenapa? Apa
bahayanya? Berbedah sekalih dizaman generasi umat akhir zaman ini, semua hal
dipertanyakan dan dianalisa dulu, jika itu menguntungkan untuk dirinya maka
mereka taat namun bila tidak menguntungkan naka mereka akan ashoyna.
Buah keimanan
adalah munculnya khudznudzon mereka kepada Allah. Yakin bahwa di dalam larangan
itu pasti ada kebaikan. Maka kita sebagai seorang hamba, kita harus
mendahulukan substansi “sami’na wa’atho’na” dan bukan “sami’na, sebentar, saya
pikir-pikir dulu mau tho’at atau tidak?” Keimanan itu memang proses.
Sebagaimana keimanan nabi Ibrahim, penghulu tauhid. Tapi setelah beriman,
setiap resiko keimanan itu tidak lagi ditimbang-timbang. Tidak lagi kita ikuti
ia dengan persangkaaan-persangkaan. Saya dengar dan saya ta’at dan bukan
kemudian menantikan penjelasan efek-efeknya. Baik mudharat (efek negatif)
maupun maslahatnya (efek positif). Yang jelas Allah mengganjar syurga bagi
hamba-hambanya yang mena’atinya.
Allah
berfirman:
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar.”
(Q.S. An-Nisa’: 13 )
(Q.S. An-Nisa’: 13 )
Kisah nabi Adam AS, Malaikat dan Jin mengajarkan kita arti dari Sami’na wa
atho’na, ketika jin dan malaikat diperintahkan/dititahkan untuk bersujud pada
nabi Adam, tanpa banyak pertanyan dan pemikiran para malaikat segera bersujud.
Malaikat mendengarkan dan mereka taati. Sedangkan iblis laknatullah tidak mau
sujud dan membangkang bahkan membantah perintah Allah swt. Dan ia malah
memberikan argumen-argumen. Seakan ia merasa lebih tahu dibandingkan Allah. Dan
dia merasa lebih baik dari pada Adam AS. Jin Menganggap perintah Allah itu
perlu untuk diinterupsi dan kemudian bisa direvisi. Mngapa demikian jin
menganggap Allah bisa saja salah bertindak ataupun memerintahkan. Dan ia
terusir syurga dan dari sisi allah swt.
Sami’na wa’atho’na hanya dilakukan pada tahapan kontekstual sebuah
perintah. Dan pada tahapan telaahan-telaahan dari para ulama. Maka seseorang
sudah boleh menggunakan pikirannya untuk memilih dari berbagai ragam hasil
kesimpulan ulama tersebut. Tentu dengan tidak lari dari tema sami’na wa’atho’na
itu sendiri.
Apa beda orang beriman dan orang munafik? Maka Allah menjawabnya dailah al
quran surat an nur ayat 7 sampai 51, disini allah gambarkan orang yang beriman
dengan sami’na wa atho’na dan orang munafik dengan sami’na wa ashoyna.
Dan kenapa
orang munafik tidak bisa taat? Jawabnya ada di ayat 50.
- Meraka adalah orang yang sakit hatinya,
- mereka ragu-ragu dengan kebenaran Al-Quran dan Sunnah,
- mereka curiga diperlakukan sewenang-wenang (diplokoto = Jawa) oleh pengurusnya.
Beberapa
Hadist Nabi Muhammad saw tentang sami’na wa atho’na:.
… sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Wajib atas
setiap orang Islam mendengarkan dan taat dalam perintah yang menyenangkan
maupun yang membencikan selagi tidak diperintah maksiat…al-hadist”
[Shohih Muslim 38
(1839) Kitabul Imaroh]
Hadist
taat pada ulil amri
… Nabi bersabda:” Mendengarkanlah dan taatlah pada
Amir, seandainya dipukul punggungmu, dan dirampas hartamu, maka dengarkanlah
dan taatlah”.
[Hadist SHOHIH Muslim
No. 52 (1847) Kitabul Imaroh]
Firman Allah swt tentang orang-orang Munafik:
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47)
“Dan mereka (munafik) berkata: “Saya iman kepad Allah
dan kepada Rasul dan kami mau taat kemudian mereka berpaling sebagian dari
mereka setelah demikian (iman), dan tidak ada mereka dengan iman”.(QS> An
nur 47)
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48)
“Ketika diserukan pada Allah dan Rasul-Nya agar
dihukumi diantara mereka ketika itu sebagaian mereka berpaling”. (QS> An nur
48)
وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49)
”Jika baginya menguntungkan maka mereka mendatangi
(menjalankan) hukum/ perintah dengan cepat-cepat”. (QS> An nur 49)
أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50)
”Adakah dalam hati mereka sakit, atau ragu-ragu atau
mereka kuatir jika Allah dan Rasulnya sewenang-wenang, justru mereka itulah
orang yang dholim”. (QS> An nur 50)